Kejagung Bantah Ancaman Tarik Jaksa dari KPK, Fakta Sprindik Lebih Dulu jadi Kunci

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 Desember 2025 2 jam yang lalu
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna (Foto: Dok MI/Adelio Pratama)
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna (Foto: Dok MI/Adelio Pratama)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) menepis keras isu adanya ancaman penarikan jaksa dari penugasan di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bantahan ini muncul di tengah menguatnya spekulasi publik pasca rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menyeret sejumlah aparat kejaksaan di daerah.

Kepala Subdirektorat Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dan TPPU Direktorat Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Yadyn Palebangan, menyebut narasi tersebut tidak berdasar dan menyesatkan.

“Tidak benar ada penyampaian penarikan jaksa KPK oleh Kejaksaan Agung,” kata Yadyn, Minggu (21/12).

Namun, bantahan ini tidak berdiri dalam ruang hampa. Isu tersebut mengemuka setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan OTT beruntun di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Bekasi, serta Tangerang—yang semuanya melibatkan unsur kejaksaan.

Titik Kritis: Sprindik Terbit Lebih Dulu dari OTT

Dalam kasus Tangerang, KPK justru melimpahkan penanganan perkara ke Kejaksaan Agung. Langkah ini menjadi sorotan karena jarang terjadi dalam praktik OTT.

Yadyn mengungkap fakta penting: Direktorat Penyidikan Jampidsus telah lebih dahulu menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) pada Rabu (17/12), sebelum OTT dilakukan KPK pada hari yang sama. Fakta inilah yang menjadi dasar yuridis pengambilalihan perkara.

“Pengambilalihan murni karena sprindik kami terbit lebih dulu. Tidak ada sedikit pun bahasa atau ancaman penarikan jaksa dari KPK,” tegas Yadyn.

Dalam OTT Tangerang tersebut, KPK mengamankan Redy Zulkarnaen, Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Tigaraksa, bersama seorang pengacara berinisial DF dan pihak swasta MS.

Isu Ketegangan Antar-Lembaga

Narasi yang beredar luas menyebut Yadyn dan Febrie Adriansyah—Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus—datang ke Gedung Merah Putih KPK dalam kondisi marah dan menyampaikan ancaman institusional. Tuduhan ini dibantah tegas oleh Yadyn.

Menariknya, Yadyn menekankan latar belakang pribadinya sebagai mantan jaksa yang pernah bertugas di KPK, seolah ingin menegaskan bahwa tudingan konflik emosional maupun institusional tidak memiliki dasar personal maupun struktural.

Alarm Adu Domba Aparat Penegak Hukum

Lebih jauh, Yadyn mengingatkan adanya pola klasik dalam perkara korupsi besar: upaya mengadu domba antar-aparat penegak hukum untuk melemahkan penindakan.

“Perlawanan balik dari para koruptor semakin masif. Jangan sampai aparat penegak hukum terjebak konflik horizontal,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa siapa pun yang terbukti bersalah—termasuk aparat penegak hukum—harus diproses tanpa pengecualian. “Semua yang bersalah harus diproses sesuai hukum. Siapa pun itu," tegasnya.

Rangkaian OTT yang menyasar aparat kejaksaan di sejumlah daerah dalam waktu berdekatan memunculkan pertanyaan serius soal integritas internal lembaga penegak hukum. Di sisi lain, perbedaan langkah antara KPK dan Kejagung dalam penanganan perkara Tangerang membuka ruang tafsir publik tentang batas kewenangan, koordinasi, dan potensi gesekan antar-lembaga.

Apakah polemik ini murni kesalahpahaman komunikasi, atau justru cerminan pertarungan kewenangan di balik layar? Yang jelas, transparansi penanganan perkara dan konsistensi penegakan hukum akan menjadi ujian utama bagi kedua lembaga di mata publik.

“Mari kita hentikan polemik dan satukan tekad dalam perang melawan korupsi,” pungkas Yadyn.

Topik:

Kejagung KPK OTT Jaksa Kejati Banten