Dari OTT KPK ke Meja Internal Kejagung: Ketika Kasus Jaksa Rawan "Diamankan"

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 Desember 2025 3 jam yang lalu
OTT KPK berhasil menjaring jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Banten. Keterangan dari kiri ke kanan: HMK selaku Kasi Pidum Kejari Tangerang, RZ selaku Kasubbag Daskrimti Kejati Banten, RV selaku Kasi D Kejati Banten. (Foto: Dok MI/Kolase/Kejagung)
OTT KPK berhasil menjaring jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Banten. Keterangan dari kiri ke kanan: HMK selaku Kasi Pidum Kejari Tangerang, RZ selaku Kasubbag Daskrimti Kejati Banten, RV selaku Kasi D Kejati Banten. (Foto: Dok MI/Kolase/Kejagung)

Jakarta, MI — Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi menyerahkan penanganan oknum jaksa hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepada Kejaksaan Agung dinilai menyisakan persoalan serius. Alih-alih memperkuat penegakan hukum, langkah ini justru berpotensi menimbulkan konflik kepentingan terbuka.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyebut pelimpahan tersebut sebagai keputusan yang secara etik dan logika publik sulit dibenarkan. Menurutnya, penanganan aparat kejaksaan oleh institusi induknya sendiri akan selalu berada dalam bayang-bayang tuduhan perlindungan internal.

“Masalahnya bukan soal prosedur administratif. Ini soal kepercayaan publik. Ketika jaksa diperiksa oleh sesama jaksa, sejak awal sudah tercipta benturan kepentingan,” kata Boyamin, Minggu (21/12/2025).

Koordinator MAKI Boyamin Saiman
Koordinator MAKI Boyamin Saiman (Foto: Dok MI/pribadi)

Ia menilai, seberapa keras pun Kejaksaan Agung mengklaim objektivitas, publik akan tetap melihat adanya upaya membatasi kerusakan agar tidak merembet ke struktur yang lebih luas. Dalam istilah sederhana, perkara rawan “diamankan” di lingkar internal.

KPK Temukan, KPK Tangkap, Tapi Tidak Menyelesaikan

Boyamin menekankan bahwa seluruh rangkaian OTT—mulai dari penyelidikan tertutup, penangkapan, hingga pengumpulan bukti awal—dilakukan oleh KPK. Oleh sebab itu, menurutnya, tidak ada alasan rasional untuk mencabut perkara dari tangan lembaga yang sejak awal bekerja secara independen.

“Kalau KPK yang membuka boroknya, semestinya KPK pula yang membersihkannya. Bukan diserahkan ke institusi tempat borok itu berasal,” tegasnya.

Ia bahkan menyebut Kejaksaan Agung semestinya memandang OTT tersebut sebagai peringatan keras, bukan ancaman. Membersihkan korps, kata Boyamin, tidak bisa dilakukan dengan mekanisme yang sarat konflik kepentingan.

Banten: Jaksa, Pengacara, dan Skema Pemerasan WNA

Dalam perkara di Banten, Kejaksaan Agung telah menetapkan lima tersangka dalam dugaan pemerasan terhadap warga negara Korea Selatan. Kasus ini berkaitan dengan penanganan perkara tindak pidana informasi dan transaksi elektronik (ITE) yang sedang berproses di Pengadilan Negeri Tangerang.

Modus yang terungkap menunjukkan penyalahgunaan kewenangan secara terang-terangan: ancaman tuntutan berat dan penahanan dijadikan alat tekan agar korban menyerahkan uang. Dari OTT KPK, nilai awal pemerasan tercatat mencapai Rp941 juta.

Meski demikian, penanganan kasus ini justru ditarik ke Kejaksaan Agung dengan dalih institusi tersebut lebih dulu menaikkan status perkara ke penyidikan—alasan yang dinilai tidak menyentuh substansi persoalan etik dan independensi.

Hulu Sungai Utara: Ketika KPK Tetap Bertahan

Berbeda dengan Banten, OTT di Kabupaten Hulu Sungai Utara tetap ditangani langsung oleh KPK. Dalam kasus ini, praktik pemerasan diduga telah berlangsung sistematis dengan memanfaatkan laporan pengaduan masyarakat sebagai alat tawar-menawar.

KPK OTT Kajari HSU
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dan Jubir KPK Budi Prasetyo saat menunjukkan dua tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pemerasan dalam proses penegakan hukum di Kejari HSU, Kalsel tahun anggaran 2025-2026, yakni (kiri-kanan) Asis Budianto dan Albertinus Parlinggoman Napitupulu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (20/12/2025)

Total aliran dana yang terungkap mencapai sekitar Rp2,64 miliar. Bahkan, satu tersangka dilaporkan melarikan diri saat OTT—fakta yang memperlihatkan betapa rapuhnya pengawasan internal kejaksaan di daerah.

Bekasi: Nama Muncul, Proses Tertahan

Di Kabupaten Bekasi, KPK juga mencium indikasi keterkaitan kepala kejaksaan negeri setempat dalam pusaran perkara korupsi yang menjerat kepala daerah. Namun hingga kini, status hukum yang bersangkutan belum berubah karena keterbatasan alat bukti.

KPK menyegel rumah dinas Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, Eddy Sumarman, yang berlokasi di Cikarang Pusat, Bekasi
KPK menyegel rumah dinas Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, Eddy Sumarman, yang berlokasi di Cikarang Pusat, Bekasi

Situasi ini berdampak langsung: tidak ada penggeledahan, tidak ada penyitaan, dan tidak ada langkah paksa lanjutan. Bagi publik, kondisi tersebut memperkuat kesan bahwa penanganan aparat penegak hukum kerap berhenti di ambang pintu kewenangan.

Persoalan Lebih Besar dari Sekadar OTT

Rangkaian OTT lintas daerah ini, menurut Boyamin, seharusnya dibaca sebagai sinyal krisis integritas di tubuh penegak hukum. Karena itu, menyerahkan kembali perkara jaksa kepada institusi asalnya justru berisiko mereduksi makna pemberantasan korupsi itu sendiri.

“Kalau kasus seperti ini saja tidak ditangani secara independen, publik berhak curiga: apakah hukum benar-benar ditegakkan, atau sekadar dikendalikan,” pungkas Boyamin. (wan)

Topik:

Korupsi OTT KPK Jaksa Nakal Kejaksaan Agung Konflik Kepentingan Boyamin Saiman MAKI Pemerasan Penegakan Hukum Skandal Jaksa Integritas Aparat Hukum dan Keadilan