Korupsi Melembaga di Kejaksaan Daerah: OTT KPK Hanya Puncak Gunung Es

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 22 Desember 2025 3 jam yang lalu
Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kendari (Foto: Dok MI)
Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kendari (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI – Penangkapan sejumlah jaksa di daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini mengungkapkan persoalan serius di tubuh Kejaksaan.

Komisi Kejaksaan (Komjak) menilai, operasi tangkap tangan (OTT) yang menjaring banyak jaksa, bukan sekadar kesalahan individu. Fenomena ini justru mencerminkan kegagalan sistem pengawasan internal di lingkungan kejaksaan.

“OTT terhadap jaksa-jaksa tidak bisa dipandang semata-mata sebagai kesalahan personal. Kasus-kasus ini menunjukkan gagalnya pengawasan dan pembinaan internal di kejaksaan,” kata Komisioner Komjak Nurokhman, Senin (22/12/2025).

Nurokhman menegaskan, penangkapan jaksa-jaksa di daerah adalah indikator kegagalan pengawasan melekat. Kepala satuan kerja, termasuk kepala kejaksaan negeri (Kajari) dan kepala kejaksaan tinggi (Kejati), memiliki tanggung jawab administratif untuk memastikan integritas dan disiplin aparatur. “Pimpinan tidak hanya membiarkan kewenangan pengawasan didelegasikan tanpa kontrol. Jika OTT terus terjadi, itu artinya pengawasan gagal total,” kata Nurokhman.

Meski demikian, Komjak memberi apresiasi pada penindakan KPK dan menuntut proses tegas terhadap jaksa-jaksa yang terjerat OTT. Nurokhman menegaskan, oknum jaksa harus diproses pidana, diberhentikan dari institusi, dan dibersihkan dari korps Adhyaksa.

OTT di Banten dan Kalsel: Skandal Pemerasan

Dalam dua operasi senyap yang terjadi pekan ini, KPK menangkap jaksa-jaksa terlibat pemerasan di wilayah Banten dan Kalimantan Selatan.

Pada Rabu (17/12/2025), KPK menangkap Redi Zulkarnaen (RZ), Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Tigaraksa, Banten. OTT ini terkait pemerasan terhadap pihak berperkara pidana di pengadilan. Redi kini menjadi tersangka bersama dua jaksa lainnya dari Kejati Banten. Kasusnya ditangani langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidsus).

Pada Kamis (18/12/2025), KPK melakukan OTT terhadap Albertinus Parlinggoman Napitupulu (APN), Kepala Kejari Hulu Sungai Utara, dan Asis Budianto (ASB), Kasie Intelijen Kejari yang sama. Mereka terjerat kasus pemerasan terhadap dinas-dinas pemerintah daerah. Satu jaksa lain, Tri Taruna Fariadi (TAR), sempat melarikan diri, namun akhirnya ditangkap Kejagung dan ditetapkan tersangka.

Kasus ini menyoroti pola lama: jaksa-jaksa memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri, sementara pengawasan internal gagal mencegahnya.

Kejagung: Tidak Ada Perlindungan untuk Jaksa Korup

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menegaskan bahwa Kejaksaan Agung tidak akan melindungi oknum jaksa yang terjerat OTT. “Selama ada barang bukti kuat, silakan ditindak. Tidak ada pembelaan hukum bagi jaksa yang melawan hukum,” ujar Anang.

Kejagung juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada KPK atas penindakan ini. Menurut Anang, OTT KPK menjadi momentum bagi Kejaksaan untuk membersihkan internal dari jaksa-jaksa kotor. “Ini momen bagi kejaksaan untuk menegakkan integritas dan membersihkan oknum-oknum tercela,” katanya.

Semua jaksa yang ditetapkan tersangka telah dicopot dari jabatan dan dinonaktifkan sementara sebagai aparatur sipil negara. Anang memastikan, pemecatan sebagai jaksa akan dilakukan setelah ada keputusan pengadilan.

Kasus ini menegaskan adanya celah besar dalam mekanisme pengawasan internal Kejaksaan. Jika OTT terus menjerat jaksa-jaksa di berbagai daerah, pertanyaan yang muncul adalah: apakah ini masalah individual atau bukti kegagalan sistemik yang membiarkan praktik pemerasan dan korupsi merajalela di tubuh Kejaksaan?

Komjak menekankan, tanpa perbaikan pengawasan internal yang serius, OTT KPK hanyalah tindakan pembersihan sementara, sementara akar persoalan tetap membusuk di dalam institusi.

Topik:

OTT KPK Kejaksaan Kejati Banten Kejari Hulu Sungai Utara Jaksa Daerah