OTT Jaksa Dipreteli? Sprindik jadi Tameng, Penegakan Hukum Dipertanyakan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 20 Desember 2025 13 jam yang lalu
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menyerahkan sembilan orang yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) di Banten dan Jakarta kepada Kejaksaan Agung. Penyerahan dilakukan setelah Kejagung lebih dulu menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) atas perkara dugaan pemerasan dalam penanganan perkara di lingkungan Kejaksaan Negeri Banten. (Foto: Dok MI/Aswan)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menyerahkan sembilan orang yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) di Banten dan Jakarta kepada Kejaksaan Agung. Penyerahan dilakukan setelah Kejagung lebih dulu menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) atas perkara dugaan pemerasan dalam penanganan perkara di lingkungan Kejaksaan Negeri Banten. (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI — Lembaga kajian hukum Democratic Judicial Reform (De Jure) melontarkan kritik tajam terhadap keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyerahkan penanganan perkara operasi tangkap tangan (OTT) terhadap sejumlah jaksa kepada Kejaksaan Agung. 

Langkah tersebut dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat, berpotensi melanggar putusan Mahkamah Konstitusi, dan membuka ruang konflik kepentingan karena kejaksaan memeriksa aparatnya sendiri.

OTT yang digelar KPK pada 17 Desember 2025 menjerat beberapa jaksa yang diduga melakukan pemerasan terhadap seorang warga negara Korea Selatan yang tengah berhadapan dengan proses hukum. 

Namun alih-alih melanjutkan proses, KPK menyerahkan perkara dengan dalih Kejaksaan Agung telah lebih dulu menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) terhadap para terduga pelaku.

Bagi De Jure, dalih tersebut janggal dan problematik. Penangkapan dilakukan dalam kondisi tertangkap tangan, yakni saat dugaan tindak pidana berlangsung nyata. 

Dalam konteks itu, De Jure menegaskan rujukan yuridis yang tegas: Putusan MK Nomor 15/PUU-XXIII/2025. Putusan ini menegaskan bahwa anggota kejaksaan yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana dapat langsung diproses tanpa memerlukan izin Jaksa Agung.

“Putusan tersebut memberikan kejelasan dan ketegasan untuk menutup peluang campur tangan kekuasaan tertinggi kejaksaan, dalam hal ini Jaksa Agung,” tulis De Jure, Sabtu (20/12/2025).

Dengan pijakan putusan MK tersebut, De Jure menilai tidak ada alasan hukum bagi KPK untuk melepas penanganan perkara. Sebaliknya, penyerahan itu justru menggerus independensi penegakan hukum dan menciptakan preseden buruk: institusi yang aparatnya ditangkap tangan diberi ruang mengambil alih perkara.

De Jure juga mempertanyakan klaim Kejaksaan Agung bahwa Sprindik telah terbit sebelum OTT dilakukan. Jika benar, kata De Jure, seharusnya kejaksaan segera melakukan upaya paksa terhadap para jaksa terduga—bukan menjadikannya dalih untuk menarik perkara dari KPK. “Dalih Sprindik pra-OTT tanpa tindakan konkret justru memperkuat dugaan ketidaktegasan,” tulis mereka.

Sorotan De Jure tak berhenti di situ. Mereka mengingatkan rekam jejak penanganan perkara internal kejaksaan yang dinilai minim transparansi dan akuntabilitas, termasuk kasus investasi robot trading Fahrenheit yang menyeret aparat kejaksaan. Dalam perkara itu, Hendri Antoro dicopot dari jabatan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, sementara Azam Akhmad Ahsya divonis sembilan tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

De Jure juga mengkritik lemahnya pengawasan eksternal oleh Komisi Kejaksaan RI serta pengawasan internal di bawah Jaksa Agung Muda Pengawasan yang dinilai belum efektif membersihkan institusi dari praktik korupsi.

“Atas dasar itu, penyerahan para jaksa hasil OTT oleh KPK patut dikecam. KPK seharusnya tetap melanjutkan penanganan perkara demi menjaga independensi, kepastian hukum, dan kepercayaan publik,” tegas De Jure.

Kasus ini menguji konsistensi KPK dalam menangani OTT aparat penegak hukum. Putusan MK telah memberi rambu tegas, namun praktik di lapangan justru memunculkan pertanyaan: apakah hukum tunduk pada administrasi internal, atau ditegakkan secara independen saat kejahatan tertangkap tangan?

Topik:

KPK OTT Jaksa Kejaksaan Agung De Jure Kritik KPK Konflik Kepentingan Putusan MK Pemerasan Jaksa Penegakan Hukum Korupsi Aparat WNA Korea Selatan