Disidik Kejagung Sejak 2023, Korupsi BPDPKS Tak Bertuan: Triliunan Dana Sawit Menguap!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 Desember 2025 16 jam yang lalu
Gedung Bundar Kejaksaan Agung RI berlatar kebun kelapa sawit, simbol penyidikan dugaan korupsi pengelolaan dana sawit BPDPKS bernilai triliunan rupiah yang hingga kini belum menetapkan tersangka. (Foto: Dok MI/Aswan/Diolah dari berbagai sumber)
Gedung Bundar Kejaksaan Agung RI berlatar kebun kelapa sawit, simbol penyidikan dugaan korupsi pengelolaan dana sawit BPDPKS bernilai triliunan rupiah yang hingga kini belum menetapkan tersangka. (Foto: Dok MI/Aswan/Diolah dari berbagai sumber)

Jakarta, MI – Lebih dari satu tahun sejak Kejaksaan Agung menaikkan status dugaan korupsi pengelolaan dana sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ke tahap penyidikan, tak satu pun tersangka ditetapkan. 

Padahal, aliran dana yang diselidiki mencapai ratusan triliun rupiah, melibatkan puluhan perusahaan raksasa sawit dan nama-nama “orang dalam” kekuasaan.

Kasus yang mencakup periode 2015–2022 ini resmi masuk penyidikan pada 7 September 2023. Namun hingga kini, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) masih berlindung di balik Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) umum—formula klasik yang kerap membuat perkara besar berlarut-larut tanpa kepastian hukum.

“Masih jalan penyidikannya. Masih penyidikan umum, tapi tetap jalan,” ujar Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada Monitorindonesia.com, Senin (24/3/2025) dikutip pada hari ini, Kamis (25/12/2025).

Triliunan Dana Publik, Nihil Akuntabilitas

BPDPKS bukan lembaga kecil. Sepanjang 2015–2023, total dana yang dikelola mencapai Rp176,1 triliun. Ironisnya, 91,3 persen dana tersebut mengalir sebagai insentif biodiesel kepada korporasi besar, sementara alokasi untuk penelitian, pengembangan, SDM, dan petani kecil masing-masing bahkan tak mencapai 1 persen.

Data Monitorindonesia.com mencatat, sekitar Rp57,7 triliun mengalir ke puluhan perusahaan biodiesel hanya dalam periode 2016–2020. Beberapa grup usaha bahkan menerima insentif secara rutin selama tujuh hingga sembilan tahun berturut-turut.

1. PT Anugerahinti Gemanusa merupakan anak usaha dari PT Eterindo Wahanatama pada tahun 2016 menerima insentif biodiesel sebesar Rp49,48 miliar.

2. PT Batara Elok Semesta Terpadu menerima insentif dari BPDPKS senilai Rp1,13 trilun sepanjang 2017-2020. Rinciannya, pada tahun 2017 menerima Rp241 miliar, Rp109,83 miliar diterima pada 2018, Rp56,45 miliar pada 2019, dan Rp728 miliar diterima pada tahun 2020.

3. PT Bayas Biofuels menerima insentif biofuel sebesar Rp3,5 triliun sepanjang 2016-2020. Pada 2016, perusahaan ini menerima Rp438 miliar. Selanjutnya, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp866 miliar pada 2018, Rp487,8 miliar pada 2018, Rp129,9 miliar pada 2019, dan Rp1,58 triliun pada 2020.

4. PT Dabi Biofuels menerima insentif biofuel sebesar Rp412,3 miliar pada 2017-2020. Rinciannya, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp110,5 miliar pada 2017, Rp171,3 miliar pada 2018, Rp80,82 miliar pada 2019, dan Rp49,68 miliar pada 2020.

5. PT Datmex Biofuels menerima insentif biodiesel sebesar Rp677,8 miliar pada 2016. Lalu, Rp307,5 miliar pada 2017. Selanjutnya, perusahaan ini menerima insentif sebesar Rp143,7 miliar pada 2018, Rp27 miliar pada 2019, dan Rp673 miliar pada 2020.

6. PT Cemerlang Energi Perkasa mendapatkan insentif sebesar Rp615,5 miliar pada 2016, lalu Rp596 miliar pada 2017, lalu Rp371,9 miliar pada 2018, Rp248,1 miliar pada 2019, dan Rp1,8 triliun pada 2020.

7. PT Ciliandra Perkasa menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS lebih dari Rp2,18 triliun sepanjang 2016-2020. Rinciannya sebesar Rp564 miliar diterima pada 2016, Rp371 miliar pada 2017, Rp166 miliar pada 2018, Rp130,4 miliar pada 2019, dan Rp953 miliar pada 2020.

8. PT Energi Baharu Lestari menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS lebih dari Rp302,47 miliar sepanjang 2016-2018. Rinciannya, sebesar Rp126,5 miliar pada 2016, Rp155,7 miliar pada 2017, dan Rp20,27 miliar pada 2018.

9. PT Intibenua Perkasatama menerima insentif sebesar Rp381 miliar pada 2017. Kemudian, Rp207 miliar pada 2018, Rp154,29 miliar pada 2019, dan Rp967,69 miliar pada 2020.

10. PT Musim Mas mendapatkan insentif biodiesel sebesar Rp7,19 triliun sepanjang 2016-2020. Tercatat, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp1,78 triliun pada 2016, Rp1,22 triliun pada 2017, Rp550,3 miliar pada 2018, Rp309,3 miliar pada 2019, dan Rp3,34 triliun pada 2020.

11. PT Sukajadi Sawit Mekar menerima lebih dari Rp1,32 triliun sepanjang 2018-2020. Rinciannya, perusahaan mengantongi insentif sebesar Rp165,2 miliar pada 2018, Rp94,14 miliar pada 2019, dan Rp1,07 triliun pada 2020.

12. PT LDC Indonesia menerima insentif sekitar Rp2,77 triliun pada 2016-2020. Tercatat, BPDPKS mengucurkan insentif sebesar Rp496,2 miliar pada 2016, Rp596,68 miliar pada 2017, Rp231,1 miliar pada 2018, Rp189,6 miliar pada 2019, dan Rp1,26 triliun pada 2020.

13. PT Multi Nabati Sulawesi menerima insentif sebesar Rp259,7 miliar pada 2016. Begitu juga dengan tahun berikutnya sebesar Rp419 miliar. Lalu,  kembali mengantongi insentif sebesar Rp229 miliar pada 2018, Rp164,3 miliar pada 2019, dan Rp1,09 triliun pada 2020.

14. PT Wilmar Bioenergi Indonesia mendapatkan insentif biofuel dari BPDPKS sebesar Rp1,92 triliun pada 2016, Rp1,5 triliun pada 2017, dan Rp732 miliar pada 2018. Kemudian, perusahaan kembali menerima dana insentif sebesar Rp499 miliar pada 2019 dan Rp4,35 triliun pada 2020.

15. PT Wilmar Nabati Indonesia mendapatkan dana insentif sebesar Rp8,76 triliun selama 2016-2020. Rinciannya, Wilmar Nabati menerima insentif sebesar 2,24 triliun pada 2016, Rp1,87 triliun pada 2017, Rp824 miliar pada 2018, Rp288,9 miliar pada 2019, dan Rp3,54 triliun pada 2020.

16. PT Pelita Agung Agriindustri dalam periode 2016-2020 menerima dana insentif sekitar Rp1,79 triliun. Terdiri dari Rp662 miliar pada 2016, Rp245 miliar pada 2017, Rp100,5 miliar pada 2018, Rp72,2 miliar pada 2019, dan pada Rp759 miliar pada 2020.

17. PT Permata Hijau Palm Oleo menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS sebesar Rp2,63 triliun sepanjang 2017-2020. Angka itu terdiri dari Rp392 miliar pada 2017, 212,7 miliar pada 2018, Rp109,8 miliar pada 2019, dan Rp1,35 triliun pada 2020.

18. PT Sinarmas Bio Energy dalam periode 2017-2020 menerima sekitar Rp1,61 triliun. Besaran itu terdiri dari insentif sebesar Rp108,54 miliar pada 2017, Rp270,24 miliar pada 2018, Rp98,61 miliar pada 2019, dan Rp1,14 triliun pada 2020.

19. PT SMART Tbk dalam periode 2016-2020 menerima sekitar Rp2,41 triliun. Besaran itu terdiri dari insentif sebesar Rp366,43 miliar pada 2016, Rp489,2 miliar pada 2017, Rp251,1 miliar pada 2018, Rp151,6 miliar pada 2019, dan Rp1,16 triliun pada 2020.

20. PT Tunas Baru Lampung Tbk menerima insentif dari BPDPKS sekitar Rp2,08 triliun sepanjang 2016-2020. Angka itu terdiri dari insentif Rp253 miliar pada 2016, Rp370 miliar pada 2017, Rp208 miliar pada 2018, Rp143,9 miliar pada 2019, Rp1,11 triliun pada 2020.

21. PT Kutai Refinery Nusantara mendapatkan aliran dana dari BPDPKS sebesar Rp1,31 triliun sejak 2017 sampai 2020. Rinciannya, Kutai Refinery mengantongi insentif sebesar Rp53,93 miliar pada 2017, Rp203,7 miliar pada 2018, Rp109,6 miliar pada 2019, dan Rp944 miliar pada 2020.

22. PT Primanusa Palma Energi hanya mendapatkan insentif biofuel sebesar Rp209,9 miliar pada 2016.

23. PT Indo Biofuels menerima dana insentif biofuel sebesar Rp22,3 miliar pada 2016.

Dari jumlah perusahaan itu, sudah ada beberapa yang masuk dalam daftar pemeriksaan Kejaksaan Agung (Kejagung). Misalnya, pada Selasa (31/10/2023) Kejagung memeriksa Manager Produksi PT Pelita Agung Agriindustri dan PT Permata Hijau Palm Oleo.

Selanjutnya, pada Kamis (2/11/2023), Kejagung memeriksa saksi dari pihak PT Multi Nabati Sulawesi, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Multimas Nabati Asahan. Pemeriksaan yang dilakukan pada kamis (2/11) itu melalui manager produksinya yakni inisial CADT.

Selasa (7/11/2023), Kejagung memeriksa Manager PT Cemerlang Energi Perkasa, FA dan PT Sari Dumai Sejahtera. Selain FA, Kejagung memeriksa dua saksi lainnya yakni, HM diduga Hartono Mitra selaku Manager Produksi PT Jhonlin Agro Raya (JARR) milik H. Isam dan AC selaku Operation Supply Chain PT Pertamina tahun 2014.

Kamis (9/11/2023) Kejagung masih mengulik perusahaan yang mengelola sawit yakni PT Sinarmas Bio Energy dan PT Smart Tbk. Saksi itu berinisial HIS selaku Manager Produksi PT Sinarmas Bio Energy dan PT Smart Tbk.

Pertanyaannya sekarang adalah:
Apakah penyaluran tersebut sesuai peruntukan?
Apakah ada rekayasa kuota, manipulasi produksi, atau konflik kepentingan dalam penetapan penerima insentif?

Saksi Sudah Diperiksa, Tapi Siapa Bertanggung Jawab?

Sejumlah manajer produksi dari perusahaan penerima insentif—termasuk dari Wilmar, Sinar Mas, Permata Hijau, Pelita Agung, hingga Jhonlin—telah diperiksa penyidik sejak Oktober–November 2023.

Namun sejak itu, proses seakan membeku. Tidak ada pemeriksaan lanjutan terbuka, tidak ada penetapan tersangka, dan tidak ada kejelasan kerugian negara. “Masih mencari simpul pertanggungjawabannya,” kata Kuntadi, Direktur Penyidikan Jampidsus.

Pernyataan ini justru memantik pertanyaan serius: Bagaimana mungkin dana triliunan yang sudah dicairkan bertahun-tahun belum bisa ditarik benang merah pertanggungjawabannya?

PEP: Orang Dalam yang Mengelilingi Dana Sawit

Laporan Auriga Nusantara dan Satya Bumi mengungkap fakta krusial:
sedikitnya 18 Politically Exposed Persons (PEP) berada di jajaran petinggi atau afiliasi perusahaan penerima insentif BPDPKS.

Mereka berasal dari: Mantan petinggi Polri dan TNI; Mantan jaksa agung muda; Pejabat tinggi peradilan; Politisi dan pejabat aktif maupun purnabakti

Tiga grup raksasa—Wilmar, Sinar Mas, dan Jhonlin—secara akumulatif menerima Rp72,5 triliun dana insentif biodiesel. Keberadaan PEP dinilai berpotensi kuat memengaruhi alokasi subsidi negara.

“PEP bisa menggunakan pengaruhnya untuk mengamankan insentif, bahkan memfasilitasi kecurangan,” kata Egi Primayogha (ICW).

Dana Petani Disedot Korporasi

Anggota DPR dari lintas komisi secara terbuka menyatakan kekecewaannya. Herman Khaeron (Komisi VI) menegaskan bahwa dana sawit sejatinya dirancang untuk peremajaan sawit rakyat, bukan untuk menopang keuntungan korporasi besar. “Kelapa sawit rakyat justru anggarannya dimakan korporasi,” tegasnya kepada Monitorindonesia.com kala itu.

Senada, Santoso (Komisi III DPR) menyebut kinerja BPDPKS amburadul dan mengingatkan potensi keterlibatan instansi pembina. “Kasus ini mirip BTS Kominfo. Uang iuran disalahgunakan, tapi siapa di atasnya belum disentuh,” katanya kepada Monitorindonesia.com.

Jalan Buntu atau Sengaja Dibuat Buntu?

Hingga kini, Kejagung mengakui masih ada “petunjuk gelar perkara yang belum dipenuhi”. Namun publik bertanya:
Apakah hambatan teknis, ataukah ada tembok kepentingan yang membuat kasus ini tak kunjung menembus aktor utama?

Koordinator MAKI Boyamin Saiman saat dihubungi Monitorindonesia.com mengingatkan keras: “Kasus ini tidak boleh di-SP3. Ini uang negara. Harus dibawa ke pengadilan.”

Kasus BPDPKS bukan sekadar dugaan korupsi administratif. Ia menyentuh: Subsidi energi; Harga minyak goreng; Konflik kepentingan elite; Ketimpangan struktural antara korporasi dan petani

Tanpa transparansi, penetapan tersangka, dan pengadilan terbuka, dana sawit berpotensi menjadi simbol impunitas baru dalam tata kelola sumber daya alam Indonesia.

Catatan: Pihak BPDPKS tidak pernah mau merespons konfirmasi Jurnalis Monitorindonesia.com.

Topik:

BPDPKS dana sawit korupsi sawit Kejaksaan Agung kasus korupsi penyidikan Kejagung