Kajari HSU Albertinus Terjaring OTT KPK, Nama Lama Kembali Muncul dalam Pusaran Dugaan Suap
Jakarta, MI - Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan, Kamis (18/12/2026), membuka kembali satu nama lama yang seharusnya sudah selesai dengan masa lalunya: Kepala Kejaksaan Negeri HSU.
Albertinus Parlinggoman Napitupulu kini berada di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, sejak Jumat (19/12/2025). Penangkapannya bukan sekadar kasus hukum baru, melainkan bab lanjutan dari rekam jejak yang sejak lama menimbulkan tanda tanya di internal penegak hukum.
Ironinya, hanya beberapa hari sebelum OTT, Albertinus masih berdiri di forum publik memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia. Ia memaparkan capaian penindakan korupsi di HSU sepanjang 2025 dan menyampaikan komitmen penanganan setidaknya tiga perkara besar pada 2026. Kini, narasi itu berbalik menjadi sorotan.
Karier Singkat, Citra Cepat Dibangun
Albertinus baru menjabat sekitar lima bulan sejak akhir Juli 2025, menggantikan Agustiawan Umar. Dalam waktu singkat, citra publiknya dibangun lewat sejumlah kegiatan seremonial, termasuk penghargaan atas perannya membantu BUMDes memperoleh sertifikat halal.
Dalam acara pisah sambut di Aula Dr KH Idham Chalid, Sabtu (26/7/2025), ia menyatakan ingin “berkontribusi positif dan berguna bagi masyarakat.” Pernyataan itu kini terdengar seperti ironi pahit, terlebih terungkap bahwa ia sempat mengajukan cuti mulai 22 Desember dengan alasan Natal dan Tahun Baru—beberapa hari sebelum OTT terjadi.
Pola Lama yang Tak Pernah Putus
Kasus ini tak berdiri sendiri. Nama Albertinus pernah tercatat dalam pusaran suap besar pada 2013, saat masih berstatus jaksa aktif.
Dalam putusan pengadilan terhadap dua Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Pajak—Mohammad Dian Irwan Nuqisra dan Eko Darmayanto—hakim Anwar menyatakan keduanya terbukti menerima suap yang sebagian mengalir kepada Albertinus.
Uang 50.000 dolar AS disebut berasal dari Handoko Tejowinoto, Kepala Bagian Keuangan PT Nusa Raya Cipta. Skema suap itu bertujuan menghentikan pemeriksaan pajak dengan nilai awal permintaan mencapai Rp25 miliar, sebelum “ditawar” menjadi Rp1,2 miliar.
Sebagian uang diserahkan di sebuah rumah makan di Jakarta—lokasi yang kemudian berulang digunakan untuk transaksi lanjutan. Dari total 120.000 dolar AS, masing-masing PPNS menerima 50.000 dolar AS, sementara sisanya mengalir ke Albertinus. Bahkan, aliran dana berlanjut dalam perkara lain dengan perusahaan berbeda.
Sanksi Ada, Tapi Karier Jalan Terus
Akibat kasus tersebut, Albertinus dicopot dari jabatan Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI Jakarta. Namun, alih-alih berakhir, kariernya justru berlanjut hingga kembali menduduki posisi strategis sebagai kepala kejaksaan negeri.
Saat itu, Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung, Mahfud Manan, menyatakan mutasi dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan. Pernyataan yang kini kembali dipertanyakan publik: sejauh mana sanksi etik benar-benar menghentikan akses kekuasaan seorang jaksa bermasalah?
OTT HSU: Insiden atau Konsekuensi Sistemik?
OTT di HSU kini membuka ruang evaluasi lebih luas. Apakah ini murni pelanggaran individual, atau cerminan kegagalan sistem pengawasan internal kejaksaan yang memungkinkan figur dengan catatan kelam kembali menduduki jabatan sensitif?
Publik menanti KPK tak hanya membongkar peristiwa OTT, tetapi juga menelusuri kemungkinan pola berulang, relasi kekuasaan, serta siapa saja pihak yang diuntungkan dan dilindungi selama ini.
Kasus Albertinus bukan sekadar tentang seorang jaksa yang tertangkap tangan. Ini adalah soal bagaimana institusi penegak hukum membersihkan dirinya—atau justru terus memutar lingkaran lama dengan wajah baru.
Topik:
OTT KPK Kajari HSU Albertinus Kejagung Kejari Hulu Sungai Utara Kejati DKI Jakarta Suap Jaksa