Korporasi Kenyang, Rakyat jadi Korban Bencana
Jakarta, MI - Bencana banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera hingga Aceh dan menimbulkan korban besar serta kerusakan parah di berbagai sektor terus menuai sorotan hangat.
Analis Politik, Agus Wahid, menilai bahwa bencana kali ini tak bisa dipandang sebagai musibah biasa, melainkan tragedi ekologis yang terjadi secara masif dan terstruktur. Dampak banjir bandang yang menerjang wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh tersebut jauh lebih menghancurkan dari bencana besar sebelumnya.
Ia menegaskan bahwa tragedi ini telah meninggalkan persoalan serius bagi keberlangsungan lingkungan hidup dan masa depan manusia.
“Jauh lebih dahsyat dari tsunami 26 Desember 2004 di semenanjung pantai Aceh. Itulah banjir bandang secara bersamaan yang melanda sebagian daratan Sumatera Utara, Sumatera Barar dan Aceh," kata Agus, Minggu (7/12/2025).
Meniritnya, kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya menelan korban jiwa manusia dalam jumlah besar, tetapi juga menghancurkan pemukiman, infrastruktur, dan ekosistem alam yang tak ternilai.
"Korbannya bukan hanya umat manusia dalam jumlah besar, tapi pemukiman, infrastruktur jalan, sarana-prasarana publik dan aneka ragam hayati lainnya, terutama hewan," jelasnya.
Tragedi ini tidak bisa dianggap sebagai kejadian alam biasa, melainkan kejahatan yang dilakukan dengan pola yang terstruktur. Dia bahkan menyebut bencana tersebut sebagai bentuk pembantaian ekologis.
“Yang perlu kita catat, banjir di tengah ketiga wilayah Sumatera itu tak ubahnya merupakan pembantaian terstruktur, sistematis dam massif (TSM)," tuturnya.
Pun, Agus menekankan bahwa korban jiwa dan hilangnya keberlangsungan lingkungan merupakan dampak yang sangat mengerikan dan harus diusut penyebabnya secara tuntas.
"Semuanya disapu tanpa mengenal rasa kemanusiaan. Satwa hewan dan aneka ragam hayati lainnya pun digulung musnah secara bersamaan," paparnya.
Lebih lanjut, Agung berpadangan bahwa kerusakan alam yang melibatkan praktik pembalakan hutan secara masif merupakan faktor pemicu utama yang tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat biasa.
“Muncul pertanyaan mendasar, mungkinkah rakyat kecil mampu melakukan pembalakan yang demikian massif dan ekstensif, apalagi terstruktur? No," jelas Agus.
Agus pun menyatakan bahwa para pelaku sebenarnya adalah korporasi raksasa yang berkomplot dengan pemegang otoritas dan izin resmi dari pemerintah.
“Penyanggahan ini mendorong analisis lain: pemainnya pasti dan pasti perusahaan besar. Ketika diselidik lebih rinci terkait peruntukannya, maka jawabannya kian jelas, perusahaan besar yang berkomplot dengan pemilik kebijakan," bebernya.
Lantas Agung menyatakan sejumlah data konsesi hutan di Sumatra yang mencapai jutaan hektar dan dimiliki kelompok perusahaan besar.
"Menurut data Kementerian Kehutanan, di antaranya, Sinar Mas (Wijaya Family) memiliki 4,4 juta ha di Sumatera, APP (pulp/HTI) seluas 2,6 juta ha. Royal Golden Eagle-Sukanto Tanoyo seluas 2,6 juta ha," katanya.
Maka dari itu dia mendesak agar ada sanksi hukum serius bagi pihak yang bertanggung jawab dan bahkan membuka peluang membawa kasus ini ke ranah pengadilan internasional jika negara tidak mampu bertindak.
“Jika negara enggan menindaknya, maka sungguh sah jika di antara rakyat membawa kasusnya ke Mahkamah Hukum Internasional. Tragedi banjir bandang ini merupakan bentuk kejahatan multidimensional terhadap manusia, alam, dan kosmos, yang tidak boleh dibiarkan tanpa pertanggungjawaban," pungkasnya.
Topik:
Banjir Sumatera Banjir Aceh