Rp263 Miliar Tanah Eks-HGU PTPN Terancam, Korporasi Bisa Diseret ke Ranah Pidana!
Jakarta, MI - Penyidikan dugaan korupsi tanah eks-HGU PTPN di Sumatera Utara memasuki titik krusial. Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menegaskan, momentum penting bukan sekadar penetapan tersangka pertama, melainkan sejauh mana penyidik membawa proses hukum, terutama terkait pertanggungjawaban korporasi.
Menurut Iskandar, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) saat ini masih berada dalam tahap penyidikan. Beberapa individu sudah ditetapkan tersangka, aset bernilai ratusan miliar rupiah telah disita, dan proses hukum berjalan. Namun, munculnya pernyataan bahwa salah satu korporasi afiliasi Ciputraland berperan sebagai investor menimbulkan pertanyaan hukum serius: Sejauh mana korporasi bisa dimintai pertanggungjawaban pidana?
“Menjadi investor bukan pembebasan hukum. Status ini tetap berada dalam uji hukum korporasi,” tegas Iskandar, Selasa (23/12/2025).
Objek penyidikan, tanah eks-HGU PTPN, termasuk kategori Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) menurut Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018. Artinya, tanah tersebut bukan komoditas bebas, melainkan aset negara dengan fungsi sosial dan tujuan pemerataan. Dalam laporan BPK, pengelolaan tanah PTPN berulang kali masuk kategori risiko tinggi, terutama terkait penguasaan pihak ketiga tanpa dasar hukum, perubahan fungsi lahan, dan potensi kerugian negara.
Hingga kini, dugaan kerugian negara sebesar Rp263 miliar masih bersifat estimasi awal penyidik, belum angka final yudisial. Investigasi menunjukkan adanya perubahan fungsi lahan dari reforma agraria menjadi komersial, yang diduga mengandung kelemahan hukum serius dan sedang diuji aparat Kejati Sumut.
Iskandar menegaskan, hukum Indonesia sudah menyediakan instrumen jelas untuk menguji korporasi. Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan korporasi dimintai pertanggungjawaban, baik karena mendapat manfaat, lalai melakukan uji kepatuhan hukum, atau membiarkan tindak pidana terjadi.
“Belum ditetapkannya korporasi sebagai tersangka bukan kesimpulan hukum. Itu bagian dari diskresi dan strategi penyidikan,” jelasnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Kejaksaan Agung mulai menerapkan pendekatan kritis terhadap sektor sumber daya alam dan perizinan, menilai tidak hanya niat individu, tapi juga kualitas due diligence korporasi, struktur pengambilan keputusan, dan manfaat ekonomi yang diperoleh. Prinsip hukum seperti constructive knowledge, willful blindness, dan corporate criminal liability digunakan sebagai alat analisis, tanpa menabrak asas praduga tak bersalah.
Iskandar menekankan, menyebut pihak sebagai “investor” hanyalah istilah bisnis. Yang diuji dalam hukum pidana adalah proses, pengetahuan, dan manfaat ekonomi yang diterima. Pertanyaan kunci bagi penyidikan bukan siapa yang berniat jahat, melainkan sejauh mana uji legalitas dilakukan, apa yang diketahui atau seharusnya diketahui terkait status hukum tanah, dan mekanisme pengambilan keputusan korporasi.
“Penyidikan ini adalah ujian konsistensi penegakan hukum. Publik tidak menuntut kesimpulan cepat, tapi menuntut proses hukum transparan, akuntabel, dan menyeluruh. Keberanian menguji seluruh aspek, termasuk korporasi, akan memperkuat legitimasi penyidikan,” kata Iskandar.
Hukum, tegasnya, tidak sekadar soal siapa yang dipersalahkan, tetapi soal apakah negara sungguh-sungguh menjaga aset publik melalui proses hukum yang utuh dan adil.
Apa kata Kajati Sumut?
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatra Utara (Sumut) sebelumnya telah didesak agar menjerat PT Ciputra Land atau Citraland sebagai tersangka korporasi dalam kasus dugaan korupsi penjualan tanah negara yang merupakan aset PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional I melalui kerja sama operasional (KSO) dengan Citraland.
Menyoal itu, Kepala Kejati Sumut Harli Siregar saat berbincang dengan Monitorindonesia.com pada Kamis (23/10/2025) sore menegaskan bahwa pihaknya mempertimbangkan itu.
Sebab, saat ini pihaknya terus mengembangkan penyidikan kasus ini. Tidak menutup kemungkinan bakal ada tersangka baru usai adanya pengembalian Rp 150 miliar dari anak usaha Citraland, PT Deli Megapolitan Kawasan Residensial (DMKR) pada Rabu (22/10/2025).
"Sesuai keterangan kemarin, penyidik mempertimbangkan penegakan hukum yang berkeadilan di mana hak-hak para konsumen yang telah beritikad baik dan sedang berhubungan dengan korporasi harus dilindungi berarti korporasinya juga harus jalan," tegas mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung itu.
Kendati, jika korporasi itu mengembalikan semua kerugian negara, makan tidaklah menjeratnya sebagai tersangka korporasi. "Jika korporasi nantinya sesuai hasil perhitungan kerugian negara mengembalikan seluruhnya untuk apa korporasi ditersangkakan," lanjut Harli.
Mantan Kajati Papua Barat ini menambahkan bahwa dalam perkara ini sebenarnya korporasi tidak berkaitan langsung dengan soal pengadaan tanahnya melainkan kewajiban NDP/PTPN terkait soal itu.
"DMKR hanya kewajiban operasional pembangunannya jadi tanggung jawab terhadap hak negara 20% ada di BPN dan NDP/PTPN," ungkap Harli.
Soal bakal ada tersangka baru baik perorangan maupun korporasi, Harli kembali menegaskan semua tergantung dari perkembangan penyidikan.
"Semuanya masih berproses secara transparan jadi kita lihat perkembangannya ya," tandas Harli.
Kerugian negara Rp 263,4 miliar
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) telah berhasil mengembalikan kerugian keuangan negara yang sempat membengkak hingga Rp 263,4 miliar terkait penjualan aset PTPN I Regional I melalui skema Kerjasama Operasional (KSO) antara PT Nusa Dua Propertindo (NDP) anak usaha PT Perkebunan Nusantara I (PTPN I) dengan PT Deli Megapolitan Kawasan Residensial (DMKR), anak usaha Ciputra Land.
Sebelumnya, pada 22 Oktober 2025, penyidik Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menerima pengembalian kerugian negara sebesar Rp150 miliar dari PT DMKR.
Sementara pada hari ini, Senin (24/11/2025), PT NDP menyerahkan pengembalian tahap kedua senilai Rp 113.435.080.000. Dengan tambahan pengembalian tersebut, total kerugian negara yang dihitung oleh ahli—yakni Rp 263.435.080.000—telah resmi dipulihkan sepenuhnya.
Kerugian negara dalam kasus ini berawal dari kewajiban PT NDP untuk menyerahkan 20 persen lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang berubah status menjadi HGB. Kewajiban tersebut tak pernah dipenuhi.
Penyidik menyebut hal ini terjadi akibat permufakatan jahat antara Irwan Perangin Angin, Direktur PTPN II (2020–2023) Iwan Subakti, Direktur PT NDP (2020–sekarang Askani, Kakanwil BPN Sumut (2022–2024) Abdul Rahim Lubis, Kepala Kantor Pertanahan Deli Serdang (2022–2025).
Permufakatan tersebut menyebabkan hilangnya aset negara berupa 20 persen lahan yang seharusnya masuk kembali ke negara.
“Bahwa pengembalian kerugian negara merupakan bagian dari pendekatan penegakan hukum yang mengutamakan keseimbangan antara keadilan dan kemanfaatan. Penyidik tidak hanya berorientasi pada tindakan represif, tetapi juga memastikan hak negara dipulihkan, masyarakat terlindungi, dan keberlangsungan operasional korporasi yang menaungi konsumen beritikad baik tetap terjaga,” kata Kepala Kejati Sumut Harli Siregar.
“Kami meminta para konsumen tetap tenang dan tidak terpancing dengan upaya penguasaan aset secara ilegal. Kami menjamin hak-hak konsumen yang telah beritikad baik. Pada saat yang sama, penegakan hukum represif tetap berjalan untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi,” timpalnya.
Harli menegaskan bahwa dengan adanya pengembalian penuh kerugian negara ini, Kejati Sumut memastikan bahwa proses hukum tetap berjalan sesuai koridor. Penyidik juga menghimbau masyarakat, terutama para konsumen perumahan, untuk tidak terprovokasi pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari perkara ini.
“Seluruh dana pengembalian kerugian negara hari ini akan disita oleh penyidik dan dititipkan ke Rekening Penampungan Lainnya (RPL) Kejaksaan RI di Bank Mandiri Cabang Medan sebagai bagian dari proses hukum," tandasnya. (wan)
Topik:
Korupsi Tanah Eks-HGU PTPN Kejaksaan Tinggi Sumut Ciputraland Corporate Criminal Liability Kerugian Negara Reforma Agraria (TORA) Penyidikan Korupsi Pengembalian AsetBerita Sebelumnya
KPK Bisa Panggil Aura Kasih? Pengacara: Masih Dugaan, Belum Pasti
Berita Selanjutnya
Kejagung Tahan Kajari Bangka Tengah Usai Ditetapkan Sebagai Tersangka
Berita Terkait
Tempus Delicti 2019: Skandal Aluminium Inalum Terjadi saat Dirut Budi Gunadi, 3 Mantan Anak Buah Masuk Rutan
7 jam yang lalu
KPK Sudah Geledah Perusahaan Pemenang Tender Biskuit Stunting? Barang Bukti Justru Raib
7 jam yang lalu