Panja Alih Fungsi Lahan DPR: Janji Sesat Pahlawan Kesiangan di Tengah Bencana
Jakarta, MI - Komisi IV DPR tampil bak pahlawan kesiangan dalam merespons katastrofe di Sumatera yang menimpa warga Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, dengan meluncurkan rencana membentuk panitia kerja alih fungsi lahan.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi IV DPR RI, Siti Hediati Soeharto alias Titiek Soeharto pada Kamis, 5 Desember 2025. Ia mengatakan tugas utama Panja Alih Fungsi Lahan ini adalah mengusut lahan-lahan yang berkontribusi dalam menyebabkan banjir dan tanah longsor yang sampai 5 Desember 2025 menimbulkan korban jiwa 836 meninggal dan 518 jiwa dinyatakan hilang.
Namun, menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), langkah ini tak perlu disambut dengan tepuk tangan meriah. Sebab, alih fungsi lahan merupakan produk akhir dari akumulasi kebijakan yang keliru, yang selama ini membebani lahan dan menyebabkan deforestasi besar-besaran.
"Katastrofe yang menimpa Sumatera harus dibaca sebagai akumulasi kebijakan pemerintah dan DPR yang memberikan karpet merah pada perluasan dan peningkatan operasi industri ekstraktif," tegas Divisi Kampanye Jatam, Alfarhat Kasman kepada Monitorindonesia.com, Selasa (9/12/2025).
Pernyataan Titiek Soeharto yang mengatakan alih fungsi lahan sebagai penyebab banjir, lanjut Farhat sapaannya, menunjukkan kesesatan berpikir DPR sebagai legislator pembuat undang-undang.
Alih fungsi lahan justru paling masif terjadi melalui skema perolehan izin resmi dengan menggunakan prosedur 'legal' yang diberikan jaminan perlindungannya oleh berbagai perangkat undang-undang seperti UUCK dan UU Minerba.
"Alih fungsi lahan justru terjadi melalui cara-cara 'legal' yaitu melalui penerbitan izin HTI di dalam kawasan hutan, penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan (PPKH) untuk kegiatan ekstraktif seperti sawit dan tambang, penurunan status kawasan hutan menjadi Area Penggunaan Lain (APL) agar dapat dibebani izin Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan sawit, Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan HGB," bebernya.
Empat Industri Ekstraktif yang Membebani Tanah Rencong
Aceh, misalnya, dikepung oleh empat industri ekstraktif sekaligus yaitu sawit, HPH (pemanenan kayu), HTI (tanaman perkebunan), dan tambang. FWI mencatat luas hutan di Provinsi Aceh berkurang sekitar 177 ribu hektare atau 2,5 kali luas Singapura hanya dalam tempo tujuh tahun. Dalam kurun setahun, Negeri Serambi Mekkah tersebut telah kehilangan sekitar 16 ribu hektare hutan alam.
"Kabupaten Aceh saat ini dibebani oleh empat izin konsesi kehutanan dengan konsesi total seluas 207.177 hektare. Empat konsesi itu adalah PT Tusam Hutani Lestari yang terafiliasi langsung dengan Prabowo Subianto, PT Aceh Nusa Indrapuri, PT Rimba Timur Sentosa, PT Rimba Wawasan Permai," jelas Farhat.
Menariknya, tiga dari empat perusahaan tersebut yaitu PT Aceh Nusa Indrapuri, PT Rimba Timur Sentosa, PT Rimba Wawasan Permai pernah dicabut izinnya oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan masa pemerintahan Presiden Jokowi, Siti Nurbaya, pada 2022.
Saat itu, Siti Nurbaya mengevaluasi nyaris seluruh izin konsesi kehutanan di Aceh yang berjumlah belasan. Namun, hanya Tusam Hutani Lestari yang lolos dari bidikan Menteri Siti dan tetap memegang konsesi seluas 97.300 hektare tanpa pernah dibekukan izinnya.
Sementara itu, PT Aceh Nusa Indrapuri kembali mendapatkan izin pada 2023 dengan luas konsesi bertambah menjadi 97.507 hektare, dari sebelumnya 51.205 hektare sesuai SK.95/Kps-II/1997 tanggal 17 Februari 1997 jo SK.319/Menhut- II/2004 tanggal 27 Agustus 2014 jo SK.131/MENLHK-II/2015 tanggal 04 Mei 2015 jo SK.261/Menlhk/Setjen/HPL.0/4/2019 tanggal 1 April 2019
"Provinsi ini juga dibebani oleh 31 izin pertambangan dengan luas total konsesi 156.7411,12 hektare. Ini belum termasuk pertambangan tanpa izin (PETI)," ungkap Farhat.
Mengutip Walhi Aceh, luas PETI 3.500,55 hektare. Sekitar 2.318,36 hektare di antaranya berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang mayoritas komoditasnya adalah emas.
Pada tahun 2020, Dinas ESDM Aceh mengeluarkan data pertambangan tanpa izin yang terdapat di hampir seluruh kabupaten dengan luas total 1.269,87 hektare.
Kabupaten Aceh Selatan menjadi wilayah dengan aktivitas PETI terluas yaitu 267,87 hektare yang berlokasi di Panton Luas, Kecamatan Sawang dan Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah. Ironisnya, aktivitas pertambangan ini, menurut laporan tersebut, berada di dalam konsesi PT Multi Mineral Utama dan PT Beri Mineral Utama.
Belakangan, pemerintah membekukan izin PT BMU karena terbukti mengeksploitasi tambang emas dan merendam batuan mengandung emas menggunakan sianida, padahal perusahaan mengantongi izin penambangan bijih besi.
Selain itu, menurut olah data citra satelit Nusantara Atlas, Negeri Tanah Rencong tersebut disesaki kebun sawit seluas 512.931 hektare yang tersebar nyaris di sekujur tubuhnya.
"Aktivitas industri sawit itu juga secara langsung bertanggung jawab atas hilangnya 3.181 hektare kawasan hutan di Aceh selama 2025 yang 654 hektare di antaranya berada di lahan gambut. Ini belum termasuk deforestasi seluas 7.391,6 hektare di luar kawasan hutan," tutur Farhat.
Kolonialisasi Ekstraktif di Sumatera Utara
Kondisi di Sumatera Utara tak berbeda jauh. Provinsi seluas 72.461 km2 atau seluas 7.246.100 hektare itu harus berebut dengan lahan-lahan konsesi industri ekstraktif. Di sektor kehutanan, Sumatera Utara dibebani 13 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, yang 12 diantaranya merupakan pemanfaatan hasil hutan kayu yang berhubungan langsung dengan deforestasi. Sedangkan satu izin lainnya merupakan pemanfaatan kawasan untuk wana ternak (silvopastura).
Adapun total konsesi kehutanan yang berada di Sumatera Utara seluas 537.131 hektare. "Jumlah ini belum termasuk izin pinjam pakai kawasan hutan (PPKH) yang diterbitkan oleh pemerintah untuk industri non kehutanan seperti sawit dan tambang. Dari 13 PBPH tersebut, PT Toba Pulp Lestari Tbk mengantongi wilayah konsesi terluas dengan luas 167.912 hektare," lanjutnya.
TPL merupakan salah satu perusahaan milik Sukanto Tanoto -- taipan yang pernah terlibat skandal pengemplangan pajak pada 2007 dengan taksiran nilai kerugian keuangan negara saat itu sebesar Rp 1,3 triliun.
"Skandal itu dijalankan dengan berbagai modus, antara lain pembuatan beban biaya fiktif, transfer pricing, dan transaksi hedging atau lindung nilai. Lalu pada 2017, namanya disebutkan dalam skandal Paradise Papers yang dirilis dirilis International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ)," katanya.
Dalam dokumen itu disebutkan Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL Group) yang bergerak di industri pulp and paper diduga memutar uang senilai miliaran dolar Amerika Serikat (AS) melalui jaringan perusahaan cangkang di Kepulauan Cook di Pasifik Selatan dan British Virgin Islands.
Di lapangan, perusahaan milik Tanoto tak kalah problematik karena melanggengkan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Tano Batak dan menjarah lahan-lahan milik warga.
Akibat industri pemanenan kayu di dalam kawasan hutan, Sumatera Utara harus menanggung deforestasi seluas 1,6 juta hektare dan melepaskan emisi karbon sebesar 810 Mt of CO₂e sepanjang 2001-2024. Kabupaten Mandailing Natal menjadi wilayah penyumbang deforestasi terluas dengan 'kontribusi' deforestasi seluas 170.000 hektare.
Sumatera Utara juga menjadi jajahan industri tambang dengan 170 izin tambang yang membebani sekujur tubuh provinsi ini dengan luas total konsesi mencapai 208.423,97 hektare.
"Ini di luar wilayah konsesi panas bumi dan pembangkit listrik tenaga air yang memerlukan penggusuran hutan untuk dibangun sarana infrastruktur pembangkit listrik panas bumi (PLTP) dan PLTA," beber Farhat.
Di sektor tambang, Sumatera Utara terlihat seperti wilayah jajahan keluarga Bakrie. Setidaknya terdapat dua konsesi tambang yang memiliki afiliasi dengan Bakrie Group, yaitu Agincourt Resources dan Dairi Prima Mineral (DPM). PT Agincourt Resources merupakan tambang emas dan perak Martabe di Kabupaten Tapanuli Selatan. Tambang ini berada di ekosistem Batang Toru yang merupakan bentang hutan tropis esensial di Sumatera Utara.
Perusahaan ini mengantongi izin Kontrak Karya seluas 130.355 hektare dan mencatatkan produksi sebesar 6,9 juta ton sepanjang 2024, meningkat 21% dari tahun sebelumnya sebesar 5,7 juta ton. Luas konsesi awal ketika perusahaan beroperasi pada 1997 tercatat hanya seluas 6.560 km2 atau 656.000 hektare.
Belakangan, setelah berkali-kali melakukan perbaruan izin, luas konsesi bertambah menjadi lebih dari 130 ribu hektare (ha) yang berlokasi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Mandailing Natal.
Menurut analisis citra satelit menggunakan Nusantara Atlas, estimasi deforestasi selama satu tahun terakhir yang diakibatkan aktivitas Agincourt seluas 739 hektare. Hutan yang tersisa, khususnya di tanah mineral pada 2025 hanya seluas 63.749 hektare dari luas konsesi berdasarkan Kontrak Karya 252.K/30/DJB/2018 seluas 130.355 hektare.
"Apabila dihitung sejak 2012, total deforestasi yang dicatatkan perusahaan hingga 2024 seluas 5.465 hektare, belum termasuk pembukaan lahan seluas 4.847 hektare di kawasan APL. Selain itu, wilayah konsesi Agincourt bertumpang tindih dengan WKP Sibual-buali yang merupakan lokasi PLTP Sarulla," jelas Farhat.
Perusahaan lainnya, Dairi Prima Mineral, merupakan perusahaan tambang seng dan timah hitam di Kabupaten Dairi. Per Juni 2025, Kementerian Lingkungan Hidup telah mencabut izin lingkungan tambang seng dan timbal sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan warga.
Sumatera Utara juga menanggung beban deforestasi cukup luas dari industri sawit. Provinsi ini dijajah industri sawit dengan total luas 1.175.940 hektare yang tersebar nyaris di seluruh kabupaten.
"Selama setahun terakhir saja, provinsi ini kehilangan 239 hektare akibat operasi sawit, dengan 39 hektare di antaranya berada di hutan rawa gambut. Sedangkan jumlah deforestasi di kawasan non hutan seluas 21.554 hektare," ungkapnya.
Beban Berlipat Sumatera Barat
Sumatera Barat yang telah dieksploitasi habis-habisan sejak abad ke-19 lewat tambang batu bara yang menyisakan sejarah kelam mengenai manusia rantai, menjadi salah satu korban dari amukan katastrofe 25 November lalu. Wilayah ini dicengkeram oleh 200 izin tambang dengan konsesi total seluas 18.217,12 hektare. Sebanyak 25 izin di antaranya merupakan izin tambang batu bara.
Salah satu tambang yang sempat bermasalah adalah Nusa Alam Lestari yang berlokasi di Sawahlunto. Pada 2022, terdapat ledakan di dalam konsesi PT NAL yang menyebabkan 10 pekerja meninggal seketika, dan empat pekerja lain mengalami luka bakar serius.
Ada pula perusahaan tambang PT Tripabara yang berlokasi di Kabupaten Pesisir Selatan, salah satu kabupaten yang terdampak parah. Menurut data BNPB, sebanyak 50 nagari dari 9 kecamatan terdampak di kabupaten ini.
Selain tambang, Sumatera Barat juga digerogoti industri kehutanan. Menurut data Kementerian Kehutanan, terdapat enam PBPH yang mengantongi izin konsesi kehutanan seluas 191.038 hektare di Sumatera Barat, yang seluruhnya memanfaatkan hasil hutan kayu.
Adapun PNBP dari sektor industri kehutanan yang dihasilkan provinsi ini setiap bulannya pada 2025 berkisar dari Rp 500 juta sampai Rp 6 miliar. Pada Oktober lalu, Sumatera Barat menghasilkan PNBP kehutanan sebesar Rp 2,7 miliar. Namun, menurut perhitungan Celios, total kerugian ekonomi yang harus ditanggung oleh Sumatera Barat akibat banjir dan tanah longsor adalah sebesar Rp 2,07 triliun.
Sumatera Barat juga tak bersih dari jamahan industri sawit yang mencaplok lahan seluas 443,076 hektare. "Selama setahun terakhir, aktivitas kebun sawit bertanggung jawab atas deforestasi seluas 506 hektare di kawasan hutan, dan sekitar 9.871 hektare di areal non-kawasan hutan," papar Farhat.
Sengkarut Kepentingan Senayan di Sumatera
Gambaran di tiga wilayah tersebut cukup menunjukkan ada persoalan besar dalam logika perizinan di Indonesia. Konsesi tambang, sawit, dan kehutanan diobral tanpa ada pembatasan atau moratorium, sebaliknya demi mengejar pendapatan negara baik dari investasi maupun dari PNBP, izin konsesi seolah-olah diobral.
Sehingga, pembentukan panja alih fungsi lahan terkesan hanya pemanis bibir belaka untuk memenangkan citra pemerintah yang terlanjur buruk akibat katastrofe yang terjadi di Sumatera.
Selain itu, DPR merupakan bagian dari ekosistem pemilik kepentingan dalam lingkup pembuatan kebijakan dan regulasi yang menjadi pangkal katastrofe Sumatera.
Melalui fungsi legislasi, DPR ikut merumuskan Undang-Undang Kehutanan, Perkebunan, Minerba, dan Cipta Kerja yang membuka ruang luas bagi ekspansi industri ekstraktif. Padahal, regulasi demi regulasi yang dilahirkan dari rahim DPR selalu berpihak pada kepentingan investasi ketimbang penjaminan keselamatan warga.
Konflik kepentingan lainnya dapat terjadi mengingat banyak nyaris separuh anggota dewan memiliki afiliasi dengan bisnis ekstraktif. "Sehingga, apabila panja dibentuk tanpa dinding independensi yang tebal dan tegas, pembentukan panja hanya menjadi kosmetika politik belaka. Bahkan, pembentukan panja tersebut dapat dibaca sebagai cara DPR untuk mengawasi kebijakan yang mereka ciptakan sendiri yang berujung pada tragedi," jelasnya.
Menurut Farhat, keterlibatan DPR dalam ekosistem perizinan juga tampak dalam praktik politik anggaran. Melalui pembahasan APBN dan Dana Alokasi Khusus, DPR sering mendorong proyek infrastruktur untuk memfasilitasi industri ekstraktif seperti pembangunan jalan, kanal, dermaga khusus untuk komoditas ekstraktif, hingga pemberian status khusus pada industri tersebut dalam payung proyek strategis nasional, yang justru memperparah degradasi ruang hidup dan mengorbankan keselamatan warga.
Dengan posisi ganda sebagai regulator sekaligus bagian dari jejaring bisnis, DPR sulit dipercaya sebagai aktor yang netral. Kini, terbukti bahwa kebijakan dan perangkat regulasi yang diciptakan telah mengorbankan keselamatan warga yang lebih luas. "Pemerintah dan DPR perlu diingatkan bahwa investasi ekstraktif di Sumatera telah menyebabkan lebih dari 800 nyawa warga Indonesia meninggal," tandasnya.
Topik:
Panja Alih Fungsi Lahan DPR Jatam Bencana Sumatera Bencana AcehBerita Terkait
Ada apa dengan DPR "Hareudang" soal Donasi Warga hanya Rp10 M untuk Korban Banjir? "Seolah-olah Paling Bekerja"
7 jam yang lalu
Hetifah Desak Pemerintah Percepat Pemulihan Pendidikan di Wilayah Bencana Sumatera
18 jam yang lalu